Gus Dur, Imlek dan Pembelaannya Terhadap Komunitas Cina


Foto; Gus Dur bersama komunitas Tionghoa (nu.or.id)

Suatu ketika, tepat pada hari perayaan imlek, seorang perempuan Cina datang ke makam Gus Dur. Perempuan ini sesenggukan di atas pusara Presiden ke IV ini. Hari dimana seharusnya Ia merayakan tahun baru Cina, justerus dipilihnya untuk menyambangi maqam kyai nyentrik ini. Haru dan menyungkup ziarahnya.

Perempuan Cina ini, begitu pun saya kira semua orang Cina di Indonesia, sadar sepenuhnya, Gusdur Lah Tokoh di balik kebebasan Cina untuk merayakan kebudayaan secara terang benderang di depan umum. Termasuk bisa bersukacita merayakan tahun baru imlek. Melalui Keppres no.6/2000, Gus Dur sebagai Presiden saat itu mencabut inpres no.I4 tahun I967 yang membatasi perayaan hari besar dan kebudayaan Cina di Indonesia. Selanjutnya melalui Keppres no I9/200I, hari raya imlek diresmikan sebagai hari libur fakultatif.

Sebelum Gus Dur mencabut Inpres no. I4/I967 atau tepatnya pada masa Orde Baru, orang orang Cina benar-benar berada dalam situasi yang muram. Program pembaharuan yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto saat itu, mengharuskan orang Cina mencampakkan identitas kebudayaan mereka. Hanya dengan cara itulah, demikian kebijakan Soeharto saat itu, orang Cina dapat melebur menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Meski kelak terbukti kebijakan pembaharuan ala Orde Baru ini, jauh dari berhasil. Komunitas Cina dengan suku-suku lain di Indonesia malah semakin berjarak oleh jurang demarkasi yang dalam.

Pada masa Orde Baru itu, orang-orang Cina tidak bisa mengekspresikan kebudayaannya di depan umum. Agama Khonghucu yang merupakan salah satu agama leluhur orang-orang Cina, tidak diakui. Mereka dipaksa memilih satu dari lima agama. Bahkan mereka disarankan untuk tidak menggunakan nama Cina dan menggantinya dengn nama Indonesia.

Meski kebijakan Soeharto saat itu disebut sebagai proses pembaharuan, tetapi konon alasan sebenarnya adalah; pemerintah saat itu memang berusaha memutus orang Cina di Indonesia dengan kebudayaannya. Saat itu Cina dianggap sebagai negeri dengan paham komunis yang cukup kuat.  Bahkan PKI dianggap jaringan komunis dari Cina atau tepatnya Republik Rakyat Tiongkok. Karena itu, Cina di Indonesia harus diputuskan hubungannya dengan segala identitas kecinaan, termasuk dalam keyakinan. Hal ini secara tegas diberlakukan pemerintah Orde Baru dengan menerapkan Instruksi Presiden No I4 tahun I967 tentang Pembatasan Kebudayaan Cina di Indonesia.

Bagi pemerintah orde baru saat itu, Cina di Indonesia bisa sangat berbahaya jika masih terkait dengan kebudayaan dari negeri asalnya. Mereka bisa menjadi tempat bersemainya benih-benih komunis.  

Langkah pemerintah Orba saat itu jelas adalah langkah mundur dalam soal pengakuan terhadap hak-hak orang Cina di Indonesia. Padahal sebelum keluarnya Instruksi Presiden tersebut, agama Khonghucu berkembang dengan bebas di negara ini. Kalangan Khonghucu pernah menggelar konferensi di Solo pada 11-12 Desember 1954. Selanjutnya malah pernah membentuk Lembaga Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia dengan nama Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) pada 16 April 1955.  Kelak kemudian organisasi ini berubah menjadi LASKI (Lembaga Sang Khongcu Indonesia), lalu kemudian kita kenal sekarang menjadi MATAKIN.

Gus Dur dengan segala kekurangannya adalah pahlawan bagi komunitas minoritas, seperti orang-orang Cina ini. Termasuk saat Orde Baru sedang ganas-ganasnya menerapkan kebijakan dari Inpres no I4/I967. Seturut cerita seorang Cina (maaf saya lupa namanya) dalam sebuah acara TV, Gus Dur pada masa Orde Baru pernah mendatangi sidang di Pengadilan Surabaya untuk membela seorang Cina yang sedang berjuan mempertahankan keyakinannya. Gus Dur datang sendiri tanpa pengawalan.

Ketika sampai di ruang sidang, awalnya Gusdur memilih duduk di belakang. Namun orang-orang yang ada di persidangan kaget luar biasa ketika mengetahui Gusdur, seorang tokoh yang sangat dihormati di kota ini,  ada di ruang sidang . Kedatangannya pun ternyata bermaksud membela atau setidaknya memberi support pada orang Cina yang sedang berjuang di persidangan tersebut.

Setelah Gus dur duduk di kursi presiden, segala tindakan yang berbau diskriminatif terhadap komunitas Cina dihilangkan.  Gus Dur tetap tegak dalam garis perjuangannya membela kelompok minoritas hatta Ia menjadi presiden sekali pun. Tak peduli sikap itu tidak menguntungkan posisinya secara politis selaku kepala negara. Bahkan Gusdur tanpa sungkan-sungkan pernah mengusulkan agar Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan ideologi Komunisme, Leninisme dan Marxisme di cabut. Tap MPRS itu, demikian Gus Dur, adalah salah satu sumber diskriminasi di Indonesia.  Bagi Gus Dur tidak boleh ada pembedaan kepada semua warga negara di Indonesia berdasarkan agama,   bahasa ibu, ras, kebudayaan serta ideologi.

Hari hari terakhir ini,  saat ras, etnis dan agama kembali dipersoalkan dalam jagat politik kita yang muram, sosok semacam Gusdur terasa dirindukan. Mungkin saat ini  imlek masih bisa dirayakan  dengan meriah di tempat umum. Tapi  adakah yang bisa menjamin bahwa hak-hak orang Cina sebagai warga negara  yang sama dengan warga Indonesia lainnya tetap diakui? Termasuk memilih  dan dipilih dalam hajatan politik? Entahlah..."Dengan kondisi politik kita yang kusam ini, tak ada jaminan soal itu.  Tapi sudahlah dalam suasana  tahun baru Cina ini, mari ikut merayakan  imlek....Selamat Tahun Baru Imlek ....Gong Xi Fa Cai....

Oleh : Syamsurizal Ijhal Tamaona
Pembina GUSDURian Makassar
Gus Dur, Imlek dan Pembelaannya Terhadap Komunitas Cina Gus Dur, Imlek dan Pembelaannya Terhadap Komunitas Cina Reviewed by KGD Gorontalo on January 29, 2020 Rating: 5

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.