Gus Dur, Nasionalisme dan Islam
Indonesia merupakan negara bangsa (Nation State)
yang telah mengalami perjalanan
yang cukup panjang. Dalam luka-liku tersebut bangsa Indonesia acap kali
mengalami konflik, hal ini tidak mengherankan mengingat bangsa Indonesia
sendiri adalah bangsa yang plural (baca
: Beragam).
Jika melihat lintas sejarah bangsa, ini keniscayaan akan
konflik dan goncangan keutuhan bangsa sangat sukar untuk di tempatkan pada sisi
luar kebernegaraan. Pluralnya bangsa ini, mulai dari perbedaan yang paling
sederhana seperti warna kulit, suku, agama maupun yang paling principil yaitu pemikiran merupakan hal
yang harus bisa di toleransikan.
Ke-pluralan
ini beberapa zaman sebelumnya dari ORBA (Orde Baru) sampai ORLA (Orde Lama)
mengalami benturan yang menyebabkan konflik, dari bias yang hanya sampai pada
perbedaan semata menanjak naik sampai pada tataran perang fisik.
Perbedaan-perbedaan itu menyebabkan disharmoni antar
sesama anak bangsa terkait perbedaan
visi bernegara. Negara dengan sebuah gagasannya mampu
mengakomodir kepentingan semua kelompok/golongan agar kehidupan yang ideal dalam
bernegara terwujud.
Perbedaan-perbedaan tersebut bisa kita jumpai pada Pra kemerdekaan, dalam sidang BPUPKI
(Badan Persiapan Untuk Kemerdekaan Indonesia) misalnya, dua kelompok yang berbeda
pendapat mengenai falsafah negara, diantaranya Golongan Nasionalis dan Golongan
Islamis (Syafii
Ma’arif dan Ahmad
Suhelmi 2002: VII).
Golongan Islam menginginkan bahwa syariat Islam merupakan
landasan negara. Mengingat negara Indonesia adalah negara yang mayoritas muslim. Berbeda dengan Golongan Nasionalis, bahwa
paham kebangsaan-lah sebagai landasan dalam bernegara. Perdebatan
tentang gagasan yang bebeda ini berlanjut pada sidang BPUPKI ke-II yaitu
tentang bentuk negara, kaum Islamis mengajukan jenis negara Theokrasi (Negara Islam), dan kaum di
luar Islam mengajukan bentuk negara monarki, federal, dan Republik, yang
akhirnya di ambil keputusan negara Indonesia berbentuk Republik. Pada tahapan
seperti ini tindakan untuk memperjuangkan gagasan mengenai bentuk idealnya
negara hanya berada pada porsi Idea semata.
Beberapa tahun setelah Indonesia
merdeka perjuangan tentang bentuk ideal negara berlanjut pada tahap yang lebih
ekstrim yaitu perang fisik, adalah Marijan Kartoesuwirjo Pendiri Daulah
Islamiyah (Negara Islam) atau Negara Islam Indonesia yang biasanya di kenal
dengan akronim DI/NII. DI/NII menginginkan akan perubahan konstitusi secara
totalitas, dari yang sifatnya kebangsaan menjadi konstitusi ala negara agama.
Tentunya bisa di pastikan keinginan untuk merubah Republik Indonesia menjadi
Negara agama (baca: Islam) harus di bayar mahal dengan terjadinya chaos yang amat besar.
Di Indonesia sendiri merupakan hal
yang sangat urgen mengenai pemilihan bentuk negara, mengingat Indonesia adalah
negara yang plural, terdiri dari beragam corak suku, agama dan ras, yang sangat
rapuh untuk di benturkan satu sama lain, mengharuskan negara di buat se ideal
mungkin. K.H Solahudin Wahid dalam sebuah acara bedah buku “HTI Gagal Paham
Khilafah” bahwa jauh hari pedebatan mengenai bentuk negara ini telah di mulai dalam sidang
BPUPKI, bahkan ketika indonesia akan di jadikan negara Islam beberapa pemuda
Kristen dari Indonesia Timur datang kepada Moh. Hatta dan menegaskan akan
berpisah dari Ibu Pertiwi jika Negara berbentuk theokrasi.
Dalam diskursus tentang hubungan
negara dan agama di Indonesia mempunya titik kritis yang punya porsi amat besar
terhadap gangguan atas integritas bangsa. Permasalahan mengenai hubungan agama
dan negara di negara yang se majemuk Indonesia harus ditempatkan pada posisi
yang moderat. Perubahan totalitas dari konstitusi akan berpengaruh terhadap
NKRI sebagai negara bangsa.
Terlebih lagi konstitusi akan di
sesuaikan dengan bentuk negara dan mempunyai bias yang amat besar terhadap
penerapannya kepada warga negara. Indonesia sebagai Nation State dengan bentuk negara kesatuan dan Pancasila sebagai
ideologi adalah kosensus bersama dalam kehidupan bernegara, sehingganya rumusan
tentang konsensus bangsa, bahwa Indonesia bukan negara agama melainkan Nation
State dan Nasionalisme menurut Dahm (dalam Peter Kasenda, 2010: 31), sebagai Common Deminator.
Perdebatan mengenai bentuk negara
antara kaum islam dan nasionalis di indonesia tidak berhenti pada fase awal
kemerdekaan. Dalam hal ini pasca reformasi ketika keran demokrasi di buka,
kebebasan berpendapat dan berserikat di jamin oleh negara, suara-suara untuk
kembali memperjuangkan negara Indonesia menjadi negara agama dengan Islam
sebagai ideologi kembali di gaungkan. Jika pada fase awal kemerdekaan
perjuangan para kaum Islam hanya pada
bentuk negara agama dan Islam menjadi ideologi resmi negara, pada
konteks zaman sekarang perjuangannya menjadi labih luas.
Pada masa sekarang beberapa kelompok
Islam Politik (Ahmad Suhelmi 2004: VII ) menginkan adanya Khilafah Islamiyah,
yaitu sistem pemerintahan Islam dimana Kaum muslim di seluruh dunia wajib
berada dalam satu negara dan wajib pula memiliki satu khalifah (kepala negara)
serta haramnya memiliki lebih dari satu negara(Hizbut Tahrir, 2005: 60).
Khilafah Islamiyah hemat penulis merupakan sebuah bentuk Internasionalisme
Islam, dimana menginginkan penyatuan umat Islam di dalam satu teritorial negara
Internasional.
Pada dewasa ini diskursus tentang
Khilafah Islamiyah yang coba di gaungkan oleh para kaum Politik Islam
berbenturan dengan Konsep Nasionalisme danNation
State yang di anut oleh Indonesia. Dasar argumennya adalah karena Indonesia
sebagai Negara Bangsa yang mempunyai batas teritori yang di persatukan karena
kesamaan latar belakang suku, agama, ras dan sejarah sedangkan khilafah
islamiyah merupakan suatu internasionalisme yang merupakan bentuk negara
internasional, dan mempunyai hukum intenasional yang sifatnya hirarki sama
seperti pada konsep hukum nasional.
Perjuangan mengenai Indonesia sebagai
nation-state menjadi Negara Islam lebih lanjut lagi internasionalisme-Islam
(Khilafah) adalah hal yang sehat dalam alam demokrasi, yang menjunjung tinggi
perbedaan pendapat. Semua golongan bisa dengan bebas menyuarakan pendapat pada
dewasa ini. Hanya saja diskursus tersebut perlulah kita kritisi bersama. Jika
jauh hari para pendiri bangsa ini telah sepakat Indonesia menjadi nation-state
dan pencasila sebagai konsensus bersama untuk mencapai cita-cita kehidupan
berbangsa dan bernegara yaitu kesejahteraan bersama, maka hanya akan
menimbulkan benturan di dalam bangsa itu sendiri dan melahirkan chaos yang tak dapat dihindari jika
memaksakan pendapat tersebut.
Dalam diskursus Islam sebagai ideologi
pengulas melihat bahwa
kemunculannya adalah keinginan untuk mengahdirkan kembali romantisme masa
silam, dan gagal melihat realitas modernitas yang dianggap mencederai Islam itu
sendiri seperti sekulerisme yang tumbuh subur di era ini. Para pengusung Negara
Islam atau Khilafah berkeyakinan bahwa dengan Islam sebagai sistem dan Ideologi
maka segala macam permasalahan dalam berenegara akan selesai. Sebelum kiranya
kita meyakini apaakah sistem tersebut akan bekerja sesuai yang di cita-citakan,
ada baiknya kita meninjau hal yang paling
dasar yaitu apakah memang, ada idoelogi islam?.
Istilah ideologi sendiri di
perkenalkan oleh Destutt de Tracy filsuf
berkebangsaan Perancis. De Tracy mengemukakan Ideologi adalah ‘ilmu tantang
ide’ (John B. Thompson 2015 :45). Gagasan De Tracy mengenai ideologi begitu
menggaung di Perancis dan pada puncaknya De Tracy dan rekan-rekannya mendirikan
Institute National 1975. De Tracy begitu mendapatkan tempat sebelum akhirnya
bertengkar dengan Napoleon. Ketidak percayaan Napoleon kepada De Tracy dan
rekan-rekannya, karena afiliasi mereka dengan repubilkanisme mereka, dianggap
sebagai ancaman serius bagi ambisi otokratiknya (John B. Thompson 2015 : 46).
Setelah Napoleon jatuh April 1814, De
Tracy kembali manggaungkan idenya tentang ‘ideologi’, tetapi pada fase ini de
Tracy mulai memisahkan ‘ideologi’ dari realitas prraktik kehidupan politik
karena gencarnya serangan terhadap ‘ideologi’. Pada masa setelahnya marx
mengembangkan ideologi dengan memasukannya pada sebuah kerangka teoritis dan
program politik dan menghilangkan stigma negatif Napoleon (John B. Thompson
2015 : 49).
Kerangka ideologi yang berada pada
tataran tafsir beberapa kelompok yang mengusungnya di setiap masa pastinya akan
mendapatkan tantanagan. Seperti layaknya napoleon yang menentangnya meskipun
pada awalnya dia menggunakan itu untuk di rumuskan menjadi dasar bagi
konstitusi. Islam yang di klaim menjadi idoelogi pun mendapat banyak kritikan.
Jika Islam menjadi Ideologi maka langkah terakhir dari proses itu adalah
memformlakan dalam sebuah konstitusi atau perundang-undangan.
Implikasi dari hal ini adalah sifat
fleksibilitas dari pesan (wahyu Allah) dalam islam akan direduksi dalam hal
klaim-klaim kebenaran tafsirannya. Orang akan lebih melihat kebenaran berada
pada konstitusi itu sendiri sebagai manifestasi dari memformalkan syariat. Di
kutub yang lain tafsir yang berbeda diluar tafsir yang di formalkan akan
dianggap salah dan menyimpang. Carita tentang formal-memformalkan ‘ide’ ini
contohnya ketika MUI yang dianggap sebagian orang sebagai manifestasi ulama
atau gabungan dari seluruh elemen ulama Nusantara memfatwakan haram pada paham,
sekularisme, pluralisme dan liberlaisme.
Pandangan yang salah mengenai MUI ini
sebagai perwakilan dari seluruh Ulama Nusantara menimbulkan konsekuensi fatal,
bahwa yang berpahamkan sesuatu yang di haramkan oleh MUI adalah sesat dan
menyimpang. Kita bisa membayangkan bagaimana jika formal-memformalkan syariat
ini benar-benara terjadi secara masif dan menyeluruh, kelompok-kelompok yang
pahamnya berbeda akan di diskriminasikan atau termarjinalkan. Padahal melihat
sejarah klasik ulama-ulam mazhab, mereka bagitu menghargai perbedaan yang ada
dan tidak membenarkan secara absolute pemikiran mereka.
Syariat sebagai langkah awal menuju
negara islam dan khilafah seharusnya tidak dilihat dari prespektif
normatif, kalau hukum Islam itu memang
sepenuhnya harus hadir dalam ranah formal. Penerapan syariat dalam bentuk
formal menjadi sebuah UU atau Perda lebih kepada kebutuhan untuk menggunakan
hukum tersebut.
Seperti halnya UU Napoleon mengadopsi
syariat Islam melalui kodifikasi Jestiniyat
(Kamil Sa’fan 2005 : 107). Pun begitu dengan kebutuhan untuk menggunakan ekonomi Islam yang anti riba karena juga
dapat mengakomodasi investor sehingga dapat menampung kepentingan dan kebutuhan
masyarakat yang ada. Lain halnya dengan syariat yang di inginkan oleh HTI, yang begitu menydutkan non-muslim dan
perempuan tidak bisa menjadi pemimpin negara dalam “Syarat In’iqad Khilafah”
(Hizbut Tahrir, 2005 :35).
Jika yang di inginkan adalah
aturan-aturan seperti ini yang termasuk dalam negara Islam dan Ideologi Islam
maka yang terjadi adalah ketidak sehatan dalam bernegara karena memajinalkan
dan tidak melihat sama semua komponen masyarakat. Pada akhirnya cita-cita
demokrasi dan para pendiri bangsa ini melalui Pancasila akan semakin jauh,
karena yang di inginkan adalah kesamaan di mata hukum dan sosial seluruh
komponen negara (termasuk non-muslim) tidak akan tercapai, para kelompok di
luar muslim dan perempuan hanya akan menjadi kasta ke dua dalam masyarakat.
Muh Ersad Mamonto, Penulis Alumni
Kelas Pemikiran Gus Dur Gorontalo angkatan
pertama
Gus Dur, Nasionalisme dan Islam
Reviewed by KGD Gorontalo
on
December 13, 2019
Rating:
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.