Gus Dur dan Upaya Perdamaian Internasional

Sebenarnya, menyoal Gus Dur itu ‘enggak sulit-sulit amat’. Tulisan-tulisannya tegas menyoal agama, pluralisme dan kedamaian. Pembaca juga tidak akan keblinger membaca guratan qalam-nya. Sabab, Gus Dur selalu menggunakan bahasa yang encer, santai dan mudah difahami. Tidak seperti Das Kapital. Sebuah oppus yang digagas oleh Karl Marx—yang ketiga jilidnya diramu terlampau ilmiah. Dan, benar; para pembaca perlu menyiapkan obat sakit kepala setelah memelintir keras otaknya, buat mikir.

Tetapi, menafsirkan Gus Dur juga tidak juga sesederhana itu. Banyak pemikir—salah satunya Greg Barton—yang menyatakan bahwa ‘sulit sekali menerka tingkah Gus Dur’. Apalagi memahami keputusan-keputusannya soal kedaulatan bangsa dan masalah-masalah kemanusiaan. Saya sendiri kurang mengerti, bagaimana bisa Gus Dur disambut dengan  Sholawat Badaroleh Rakyat Aceh pada tahun 1999, setelah sebelumnya ia melenggang ke Timur Tengah—meninggalkan Aceh dengan GAM-nya yang sedang riuh: memilih pisah dari Indonesia. Begitu pula yang terjadi dengan Riau ketika sedang naik tensi ‘ingin keluar dari NKRI’, berdasarkan KRR (Kongres Rakyat Riau) pada tanggal 15 Maret 1999. Gus Dur justru malah keluyuran.Ada apa dengan dunia Internasional? Mengapa Gus Dur kian getolnya melakukan kunjungan ke luar negeri hampir di setiap kali Indonesia mengalami kemunduran multilateral?
Dunia Internasional di Mata Gus Dur

Di mata Gus Dur, dunia Internasional adalah satu kesatuan yang kohesif. Gagasan ini disampaikan Gus Dur dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan yang baik (goodgovernance) dan etika global (globalethic) pada tahun 2003 di Paris. Menurutnya, dunia Internasional adalah jalan untuk menjembatani hubungan erat diantara negara-negara yang memiliki keberagaman agama, suku, budaya dan ideologi untuk saling menghargai. Gagasan konstruktif ini tentu saja menabrak habis-habisan disertasi Mahbub ul Haq—ahli ekonomi Dunia Ketiga asal Pakisatan kepada Giorgi Anne Geyer dengan Proverty Curtain-nya—yang menganggap bahwa dunia kita yang terkotak pada madzhab, suku, klan, serta faksi yang tidak bisa menyatu dan sedang mengalami peluruhan.

Sederhana saja, karena menurut Gus Dur, ‘beda’ adalah sebuah keniscayaan bagi dunia yang terus menerus bergerak maju. Meminjam terminologi khas Thomas Kuhn, “Pergeseran Paradigma” (paradigmshift). Dan, tidak ada satu orang pun yang dapat membendung hal tersebut. Hanya saja, memang, kita sedang tersempal dan Bumi kita ini sedang terkocok. Kalau tidak malah—ya... mungkin sedang dijungkirbalikkan. Atau juga bisa disebut pertanda mulainya babak baru. Tapi, yang penting dan perlu dicatat dari pidato Gus Dur dalam konferensi tersebut adalah: kita perlu menciptakan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan Internasional.

Dan, hasilnya tidak main-main. Pidato tersebut mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili agama Budha, Wolfgang Smith dari Persekutuan Gereja-Gereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem. Gagasan ini diterima bukan karena batas-batas antar negara tidak lagi berlaku, atau hukum-hukum internasional tidak lagi dipatuhi. Lebih dari itu, meminjam istilah futurologi kita, Soedjatmoko, karena“manusia telah terlempar jauh dari akar spiritualnya.”

Melalui pidato inilah juga Amerika patut berterima kasih kepada Gus Dur. Sebab, kesadaran ini juga akan menjernihkan pandangan segelintir orang yang sinisme terhadap Amerika Serikat—akibat dominasinya sebagai negara adi-kuasa terhadap negara-negara lain di kawasan Timur Tengah, seperti Irak dan Iran. Apalagi, Amerika Serikat, melaluigeopoliticalconsideration (pertimbangan-pertimbangan politik)—yang kemudian melahirkan satu-satunya pertimbangan, bisa sembarangan keluyuran di kawasan Timur Tengah, serupa Iran di Tahun 1978-1979 dan Irak di tahun 2003—telah seketika menyurutkan pamor Negri Paman Sam itu dari julukan “polisi dunia”.

Melalui jembatan inilah pula, hemat saya, partikel-partikel kemanusiaan yang terbelah menjadi klan, suku, fundamentalisme agama, geng kota, kelompok, teroris, gerilya bahkan pseudo agama sekalipun,yang oleh Alvin Toffler dalam The Third Wave-nya, dapat di dialogkan jika dilakukan terus menerus. Sebuah cara agar antitesa Javier Perez deCuellar bahwa ‘kita sedang menapak era yang berbahaya’, dapat terselesaikan melalui para agamawan dan moralis dunia; yang konsisten saling mengisi: mengkritik, belajar satu sama lain, dan berupaya menjaga stabilitas umat.
Timur Tengah: Konflik, Ideologi dan Kepentingan

Mungkin benar, tidak ada yang bisa memahami Gus Dur selain Gus Dur seorang. Ungkapan ini lajas saya sampaikan berbarengan dengan sikapnya yang random: pergi keluyuran meninggalkan Indonesia menuju New York guna menghadiri Konferensi Perdamaian untuk Kawasan Timur Tengah, saat keadaan politik di tanah luhurnya justru sedang mengalami kulminasi. Saat ketika gelombang massa yang membuncah di ibu kota sedang diarak pada titik akhir: menuntut lengsernya pasangan Megawati-Hamzah Haz. Tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan “How people treat you istheir karma; howyoureactisyours”—nya Wayne W.  Dyer—asbab, Gus Dur lengser juga karena mainan politik Megawati. Jadi jangan menuntut saya menuliskan hal itu. Jijik!

Ada dua hal penting mengapa Gus Dur memutuskan pergi ke New York. Pertamakarena perkembangan dalam negeri baru memuncak setelah minggu kedua bulan Maret, 2003. Keduakarena persiapan perang yang dilakukan oleh AS dan Inggris terhadap negara-negara di Timur Tengah sudah berjalan sangat jauh. Bayangkan, dengan alasan untuk menjaga stabilitas, AS bersama Inggris mengirim 238.000 pasukan untuk merobek Irak. Alasan negara adi daya ini sungguh sangat ‘bersih’: menggulingkan Saddam Hussein. Dan ironisnya, selama penyerbuan, Saddam Hussein justru tidak diketemukan. Gagal Maning apa memang Saddam Hussein itu antek ‘Mamarika?’

Tidak ada alasan lain untuk meng-counter tindakan ini, selain: kepentingan energi. Sabab, negara-negara di kawasan Timur Tengah merupakan salah satu negara yang mengantongi peran signifikan terhadap Amerika. Kita patut menjadikan Iran sebagai pembanding. Januari 1978 – Februari 1979, adalah tahun-tahun dimana dunia terbelalak melihat Amerika lumpuh dan tak berdaya—sedang memaksakan dirinya untuk menghentikan peristiwa dramatik di Iran yang tumpang-tindih. Amerika tidak bisa lari dan membiarkan Iran dan negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah tetap konsisten dengan revolusinya; disaat mereka sedang mengalami kelangkaan energi.

Agaknya, memang tendensius. Tetapi,benar bahwa keterlibatan AS dan Inggris dalam konflik Timur Tengah merupakan sebuah cara untuk memainkan perannya dalam politicalconsederation—seperti apa yang saya sampaikan pada point sebelumnya—guna meraup keuntungan yang fantastis dalam bidang sumber daya alam. Selain itu, kita perlu lebih radikal lagi: untuk apa AS dan para sekutunya melakukan propaganda atas lahirnya kelompok-kelompok radikal Islam (yang memang bentukan mereka) guna memantik permusuhan diantara negara-negara Liga Arab, lalu ‘sok suci’ mengatakan ‘gempuran atas Irak di awal tahun 2003 adalah upaya untuk menjaga stabilitas Timur Tengah?’

Disinilah alasan yang sangat relevan mengapa Gus Dur menghadiri IIFWP (Interreligiousand  International Federation World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Perdamaian Dunia) pada Februari-Maret 2003 itu. Semua karena alasan kemanusiaan. Mungkin karena kita bukan Irak, Iran dan Palestina. Sehingga, sulit bagi kita merasakan bagaimana rasanya diringkas, diringkus dan dibungkam dunia Internasional. Tapi berbeda dengan Gus Dur. Nuraninya bergeming ketika diperhadapkan dengan silang pendapat yang berhujung genosida.

Karena menurut Gus Dur: Amerika Serikat bukan satu-satunya anggota PBB yang memiliki wewenang terhadap Timur Tengah. Sampai kapan dunia membekap rintih masyarakat Timur Tengah, yang, juga memiliki hak untuk menemukan dirinya dalam memperbaiki situasi ekonomi, politik dan identitas—agar dapat mencipta ruang-ruang rekonsilasi nasional; sementara AS selalu tegar dengan superficial powernya?

Agenda kita bersama adalah meredam ekses yang terjadi diantara AS para sekutu dan Timur Tengah adalah dengan menghimbau seluruh pemimpin negara—melalui konstitusi: membuka pintu dialog sebesar-besarnya bagi seluruh umat manusia. Sebuah upaya pembuktian bahwa Jerman, Perancis, Rusia dan Tiongkok, juga memiliki relevansi dan upaya-upaya diplomatik dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Tidak tersekat. Tidak pula terhambat dengan batas geografis. Semangat dialogis yang dibangun berdasarkan prinsip egaliter dan humanis. Yang secara kontinu, berani menabrakstelsel barbarian alaVonClausewitz bahwa “perang adalah satu-satunya cara dari perundingan yang gagal.”

Kesepakatan Spiritual: Ikhtiar Membuka Sumpal Perdamaian

Masih soal Gus Dur yang kata banyak orang ‘nyeleneh’, itu. Di Bangkok, pada pertengahan Juni 2002, Gus Dur menyampaikan pidatonya pada pembentukan lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bernama World Council for Relligiou sLeader (Dewan Dunia Pemimpin-pemimpin Agama). Dalam pidatonya, Gus Dur mengemukakan setidaknya tiga point penting yang harus menjadi kerangka lembaga baru tersebut. Pertama, pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan, harus memilki makna spiritualitasnya sendiri, diantara pusaran materialistis PBB dalam segenap teori pembangunan yang sekuler dan jauh dari barometer keagamaan.

Kedua, pertimbangan-pertimbangan ini haruslah memiliki latar belakang masing-masing corak keagamaan yang penuh dengan perubahan—sebagai sebuah upaya terus menerus merekonstruksi pemahaman keagamaan yang belum selesai. Dan Ketiga,proses pertimbangan-pertimbangan tersebut harus dicandra melalui sudut pandang dialogis antara agama. Bukan konfrontasi antara agama dan materialisme.

Agaknya, gagasan-gagasan ini akan sulit diamini oleh PBB, lewat World Councilfor Relligious Leader (Dewan Dunia Pemimpin-pemimpin Agama). Asbab, PBB sebagai representasi dari setiap negara-negara yang memiliki orientasi materialistik dalam mengambil keputusan. Lebih dari itu, meminjam adagium Nietzsche dalam The Birthof Tragedy (1872),pertimbangan-pertimbangan keagamaan adalah dorongan negatif  yang hanya akan membatasi diri manusia dengan Tuhan”—dirasa tidak perlu oleh PBB. Barangkali kita perlu mendedah keputusan PBB ini agak sedikit lebih radikal dengan tesis Geyer, kolumnis dan ahli panel televisi tentang persoalan dunia yang telah meraih berbagai penghargaan berkat reportase dan komentar internasionalnya.

Geyer, dalam tesisnya menegaskan: “kita perlu sebuah format kebijakan yang baru dengan dunia yang sedang mengalami peluruhan yang mengerikan; karena banyak negara yang sebelumnya amat mapan dari segi struktural maupun spiritual telah tercabik-cabik: membelah diri menjadi kelompok dengan garis ideologi yang variatif.”Pendeknya, clashdiantaramajor—minor, radikal—konservatif, tradisionalisme—modernisme; telah menyebabkan dunia kita bergerak menujukondisi yang serba terpotong-potong. Belum lagi dengan timbulnya erosi atas wewenang dari status pranata internal pemerintahan regional maupun dunia yang saling kait kelindan.

Disinilah pertimbangan-pertimbangan spiritualitas—yang multilateral—itu seharusnya digalakkan. Sebuah kerangka pemikiran yang dapat menggiring umat manusia memadukan makna personalnya dengan pandangan-pandangan dunia (worldview) yang lebih besar, berupa sintesis yang koheren. Bukan sekedar titik cahaya (blips) yang akan mengikat segalanya jadi satu. Melainkan sebuah jaringan yang kukuh, meski tanpa penghulu, sedang bergerak mengorganisir dirinya menuju perdamaian atas segala bentuk kepentingan negara-negara berkembang dan maju di masa depan. 

Tarmizi Abbas
Penulis adalah Alumni Kelas Pemikiran Gusdur Gorontalo angkatan pertama
FB : Arief Abbas
Gus Dur dan Upaya Perdamaian Internasional Gus Dur dan Upaya Perdamaian Internasional Reviewed by KGD Gorontalo on November 26, 2019 Rating: 5

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.